Beranda | Artikel
Siapa yang Disebut sebagai Ahlul Bidah?
Senin, 31 Oktober 2022

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in. Amma ba’du,

Secara umum, semua pelaku bid’ah disebut sebagai ahlul bid’ah. Namun secara khusus, yang dimaksud ahlul bid’ah adalah para penyeru kebid’ahan, para tokoh-tokohnya, dan para pelakunya di saat sedang melakukan kebid’ahan. Merekalah ahlul bid’ah yang perlu diwaspadai dan disikapi dengan keras. Adapun orang awam yang ikut-ikutan melakukan bid’ah maka mereka tidak dijauhi dan tidak disikapi dengan keras.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

الداعي إلى البدعة مستحق العقوبة باتفاق المسلمين… ولو قدر أنه لا يستحق العقوبة أو لا يمكن عقوبته، فلابد من بيان بدعته والتحذير منها، فإن هذا من جملة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر الذي أمر الله به ورسوله

“Para da’i penyeru kebid’ahan layak untuk dijatuhkan hukum kepada mereka, berdasarkan kesepakatan ulama … andaikan tidak mampu untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka maka wajib untuk menjelaskan kebid’ahan mereka dan mentahdzir mereka. Dan ini termasuk dalam amar ma’ruf nahi mungkar yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan.” (Majmu’ al-Fatawa, 35/413)

Al-Qarafi rahimahullah mengatakan:

قال بعض العلماء: استثني من الغيبة ست صور… الرابعة: أرباب البدع والتصانيف المضلة ينبغي أن يشهر الناس فسادها وعيبها وأنهم على غير الصواب، ليحذرها الناس الضعفاء فلا يقعوا فيها، وينفر عن تلك المفاسد ما أمكن، بشرط أن لا يتعدى فيها الصدق ولا يفتري على أهلها من الفسوق والفواحش ما لم يفعلوه، بل يقتصر على ما فيهم من المنفرات خاصة

“Para ulama mengatakan bahwa ghibah dikecualikan pada enam keadaan: … yang keempat: tokoh-tokoh kebid’ahan dan para penulis-penulis buku yang menyesatkan yang sudah tersebar di tengah manusia tentang kerusakan mereka dan aib mereka. Dan sudah tersebar bahwa mereka tidak di atas kebenaran. (Mereka boleh dighibahi) agar masyarakat awam tidak terjerumus dalam kebid’ahan dan menjauh dari kerusakan mereka sebisa mungkin. Dengan syarat tidak boleh berlebihan dan tidak membuat kedustaan dengan menuduh mereka melakukan kefasikan atau dosa besar yang tidak mereka lakukan. Namun cukupkan pada perkara kebid’ahan yang harus dihindari saja.” (Al-Furuq, 8/261)

Adapun orang-orang awam, demikian juga orang-orang yang jatuh pada kebid’ahan karena ijtihad, atau karena terpengaruh bukan bersengaja, atau orang shalih yang tergelincir, maka tidak divonis sebagai ahlul bid’ah

Ini sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Ushulul Hukmi ‘alal Mubtadi’ah inda Ibni Taimiyah karya Syaikh Dr. Ahmad bin Abdul Aziz al-Hulaibi. Disebutkan di sana beberapa kaidah:

Kaidah pertama: memberikan udzur kepada orang shalih dan ulama mujtahid yang terjerumus kepada kebid’ahan karena ijtihad. Dan membawa perkataan mereka kepada kemungkinan yang benar.

Kaidah kedua: tidak menyesatkan ulama yang mujtahid yang keliru dalam ijtihadnya baik dalam masalah aqidah maupun masalah fikih, serta tidak menyesatkan atau mengkafirkannya.

Kaidah ketiga: memberi udzur kepada ulama yang mujtahid yang keliru dalam ijtihadnya bukan berarti setuju kepada kekeliruannya dan kebid’ahannya. Bahkan tetap wajib mengingkarinya selama memungkinkan dengan tetap memperhatikan adab-adab.

Kaidah keempat: tidak menghukumi orang yang terjerumus pada kebid’ahan sebagai ahlul ahwa dan ahlul bid’ah, serta tidak memusuhi mereka, kecuali kebid’ahan yang mereka lakukan sangat masyhur dan berat menurut para ulama (Ushulul Hukmi ‘alal Mubtadi’ah inda Ibni Taimiyah, hal 67-82).

Pada sebuah kesempatan, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah ditanya:

“Di antara para penuntut ilmu/santri terdapat perbedaan mengenai definisi mubtadi’ (ahlul bid’ah). Sebagian mereka mengatakan mubtadi’ adalah orang yang mengatakan atau melakukan kebid’ahan, meskipun ia belum paham. Sebagian yang lain berkata bahwa mubtadi’ itu pelaku bid’ah yang sudah dipahamkan bahwa yang dilakukannya adalah bid’ah. Sebagian lagi ada yang membedakan apakah pelaku bid’ah itu ulama mujtahid yang mempelopori kebid’ahan ataukah bukan ulama mujtahid. Dari beberapa pengertian ini kadang timbul vonis bahwa Ibnu Hajar al-Asqalani atau an-Nawawi adalah mubtadi’ tanpa toleransi sedikit pun kepada mereka. Kami meminta kejelasan dari anda yang memiliki pemahaman yang mendalam dalam permasalahan ini. Semoga Allah membalas kebaikan anda.”

Beliau menjawab:

Pertama, seorang penuntut ilmu agama yang masih pemula atau juga orang awam hendaknya tidak menyibukkan dirinya dalam memvonis seseorang itu mubtadi’ atau seseorang itu fasik. Karena hal ini sangat berbahaya bagi orang yang tidak memiliki ilmu agama yang mendalam tentang masalah ini. Selain itu, menyibukkan diri dalam memvonis mubtadi’ atau fasik akan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Maka yang semestinya menjadi kesibukan para penuntut ilmu yang masih pemula atau orang awam adalah: menuntut ilmu agama, dan menahan lisan mereka dari hal-hal yang tidak memberikan faedah bagi mereka. Bahkan menyibukkan diri dalam memvonis tersebut akan menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bagi yang lain.

Kedua, bid’ah adalah perkara yang diada-adakan dalam urusan agama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda beliau:

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan kami ini (agama), yang tidak diajarkan oleh agama, maka tertolak.” (HR. Bukhari no.167, dari jalan ‘Aisyah radhiallahu’anha)

Jika seseorang berbuat bid’ah karena tidak paham, maka ia dimaafkan karena ketidaktahuannya tersebut dan tidak dihukumi sebagai mubtadi’, namun perbuatannya disebut sebagai perbuatan bid’ah.

Ketiga, ulama yang berbuat kesalahan ijtihad berupa ta’wil (sifat-sifat Allah), sebagaimana Ibnu Hajar al-Asqalani dan an-Nawawi yang telah menta’wil beberapa sifat Allah, mereka berdua tidak dihukumi mubtadi’. Camkan baik-baik, mereka berdua telah berbuat kesalahan dalam hal tersebut, namun kita memohonkan ampunan Allah untuk keduanya karena mengingat perjuangan mereka berdua dalam mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Mereka berdua adalah imam besar yang terpercaya dikalangan para ulama. (Muntaqa Fatawa al-Fauzan Jilid 2, fatwa no.181, asy-Syamilah)

Contoh zallatul fuqaha adalah sebagaimana yang disebutkan oleh al-Auza’i mengatakan,

نتجنب من قول أهل العراق خمسا ، ومن قول أهل الحجاز خمسا …  فذكر من قول أهل العراق : شرب المسكر ، ومن قول أهل الحجاز : استماع الملاهي، والمتعة بالنساء

“Jauhilah 5 pendapat Ahlul Iraq dan 5 pendapat Ahlul Hijaz (Madinah termasuk Hijaz)! Di antara pendapat Ahlul Iraq yang dijauhi adalah pembolehan minuman yang memabukkan. Di antara pendapat Ahlul Hijaz yang dijauhi adalah membolehkan alat musik dan nikah mut’ah.” (Siyar A’lamin Nubala, 7/131)

Bagi yang sudah pernah membaca kitab Syarhus Sunnah al-Barbahari tentu sudah mengetahui perkataan Ibnul Mubarak rahimahullah,

لا تأخذوا عن أهل الكوفة في الرفض شيئاً ولا عن أهل الشام في السيف شيئاً، ولا عن أهل البصرة في القدر شيئاً، ولا عن أهل خراسان في الإرجاء شيئاً، ولا عن أهل مكة في الصرف شيئاً، ولا عن أهل المدينة في الغناء، لا تأخذوا عنهم في هذه الأشياء شيئاً

“Jangan ambil pendapat Ahlul Kufah tentang syiah Rafidhah sama sekali! Jangan ambil pendapat Ahlus Syam tentang pemberontakan sama sekali! Jangan ambil pendapat Ahlul Bashrah tentang takdir sama sekali! Jangan ambil pendapat Ahlul Khurasan tentang irja‘ sama sekali! Jangan ambil pendapat Ahlu Makkah tentang transaksi sharf sama sekali! Jangan ambil pendapat Ahlul Madinah tentang musik sama sekali! Jangan ambil pendapat mereka dalam masalah-masalah ini sama sekali!”

Ulama-ulama tersebut keliru dan pendapatnya tidak boleh diikuti, namun mereka tidak divonis sebagai ahlul bid’ah. Wallahu a’lam.

Was shalatu was salamu ‘ala Muhammadin, walhamdulillahi rabbil ‘alamin.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/40527-siapa-yang-disebut-sebagai-ahlul-bidah.html